I. PENDAHULUAN
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosiologi lainnya. Sangat penting bukan saja yang dijumpai pada setiap masyarakat yang sudah diketahui, tetapi juga karena saling pengaruh-mempengaruhi antara budaya satu dengan yang lainnya. Di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral, dan etika.
Agama itu saling pengaruh-mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluargaan, perkawinan, ekonomi, hukum, dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains, dan teknologi. Agama itu telah memberikan inspirasi untuk memberontak dan melakukan peperangan dan terutama telah memperindah dan memperhalus karya seni. Tidak terdapat suatu institusi kebudayaan lain menyajikan suatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu halus seperti halnya agama.
Sekali agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi satu hal yang rutin, maka agama itu akan menghadapi kesulitan yang timbul dari rutinisasi itu. Bahkan bukan hanya sekedar kesulitan yang dihadapinya, lebih tepat lagi kalau disebut “dilema” karena kesulitan masih relatif mudah dicari jalan keluarnya, tetapi suatu dilema tidak demikian halnya. Dalam dilema orang dihadapkan dengan satu pilihan dari antara dua alternatif yang berlawanan.
Di bawah ini kita akan melihat dampak dilema yang dihadapi setiap agama yang telah menjelma dalam institusi antara lain agama dihadapkan dengan pilihan yang sulit berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kepemimpinan.
II. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian agama itu ?
2. Apa fungsi agama itu ?
3. Bagaimana agama jika dihadapkan pada masalah kekuasaan dan kepemimpinan ?
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Agama
Agama bagi Durkheim adalah produk khas dari akal kolektif. Sementara menurut James Martineau agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.
Seorang ahli sosiologi agama bernama Ellizabeth K. Notingham berpendapat bahwa agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi, melainkan melalui ekspresi atau penggambaran. Tidak ada satupun definisi yang memuaskan. Agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta.
Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu, orang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang dianutnya. Mukti Ali, mantan Menteri Agama Indonesia, menulis, “agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di ahirat”. Jelas sekali, Ali tidak sedang berbicara masalah agama dalam arti umum. Dia sedang mendefinisikan agama seperti yang dilihatnya dalam agama islam.
Walaupun definisi substansi kelihatan sederhana dan dapat dijadikan dasar untuk definisi operasional, cakupannya terlalu luas. Ahli-ahli membatasi substantif malah memperluas. Muller menulis pada tahun 1889 (sebagaimana dikutip Spilka, Hood, dan Gorsuch, 1985 : 30)
“Agama disebut sebagai pengetahuan dan agama disebut juga sebagai kebodohan. Agama disebut sebagai kebebasan dan ia disebut juga sebagai kebergantungan. Agama disebut sebagai keinginan, dan ia disebut juga sebagai kebebasan dari segala keinginan. Agama disebut sebagai renungan sunyi dan ia disebut juga sebagai pemujaan Tuhan yang indah dan meriah”
Jadi, agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta yang berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di ahirat.
Agama sebagai sumber ilmu pengetahuan karena semua ilmu bersumber dari Al-qur’an. Kebebasan dan agama bagaikan dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan, munculnya keadilan dalam agama karena di dasari oleh kebebasan, makanya tidak diherankan kalau agama islam menganut sistem kebebasan, dalam teks alqur’an tidak ada paksaan dalam beragama.
2. Fungsi Agama
a. Agama dalam Kehidupan Individu
Agama dalam individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang membuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianut. Sebagai sistem nilai, agama memiliki arti khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.
b. Agama dalam Kehidupan Masyarakat
Masalah agama tidak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain :
1. Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Karena agama memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi kita semua di dunia. Seseorang yang tidak mematuhi ajaran agama tentunya akan menyesal di akhirat kelak. Karena baik buruknya perbuatan yang dilakukan di dunia akan mendapat balasan di akhirat.
2. Berfungsi Penyelamat
Keselamatan yang diberikan oleh agama pada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan ahirat. Alam dunia meliputi kedamaian karena agama kita adalah rahmatan lil’alamin. Sedangkan keselamatan di ahirat adalah jaminan bagi manusia yang beriman semasa hidupnya di dunia.
3. Berfungsi sebagai Perdamaian
Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Agama mengajarkan perdamaian bagi semua manusia di dunia, sehingga antara agama satu dengan agama yang lain harus saling menghormati. Kalau semua umat beragama damai tentunya tidak ada kata permusuhan di dunia, tidak ada peperangan di mana-mana. Semua orang di dunia akan merasa tentram tanpa ada permusuhan atara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama yang lainnya.
4. Berfungsi sebagai Sosial Kontrol
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun kelompok. Agama selalu mengontrol tingkah laku masyarakat sehingga masyarakat atau manusia dapat dinilai baik buruknya melalui agama. Orang yang menyimpang dari ajaran agama pasti akan menyesal di akhirat.
5. Berfungsi sebagai Rasa Solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan; iman dan kepercayaan. Agama tidak mengajarkan umatnya untuk berpecah-belah. Antar sesama umat beragama harus saling mempunyai rasa solidaritas sehingga tercapai persatuan dan kesatuan antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama yang lainnya.
6. Berfungsi Transformative
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Islam telah memberikan jawaban atas tantangan yang akan terjadi pada masa depan. Kita sebagai seorang muslim harus bersiap-siap mampu menjawab tantangan itu.
7. Berfungsi Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Dalam Islam sudah disebutkan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak merubah nasibnya sendiri. Itu jelas membuktikan kalau kita disuruh kreatif dan inovatif dalam berusaha di dunia sesuai ajaran agama sebagai bekal di akhirat.
8. Berfungsi Sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama uhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha yang dilakukan di dunia untuk kehidupan di akhirat tentu akan mendapat balasan di akhirat kelak selama usaha yang dilakukan di dunia itu sesuai dengan ajaran agama yang diridhoi Allah.
Dari sudut pandang teori fungsional, agama menjadi atau penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Yang pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond) dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya.
3. Agama jika Dihadapkan dengan Masalah Kekuasaan dan Kepemimpinan
Dalam kepercayaan dan praktik religius, etos suatu kelompok secara intelektual dan masuk akal dijelaskan dengan melukiskannya sebagai suatu cara hidup yang secara ideal disesuaikan dengan permasalahan aktual yang dipaparkan pandangan dunia itu. Sementara itu, pandangan dunia dijelaskan secara emosional dan meyakinkan dengan menjelaskannya sebagai sebuah gambaran tentang permasalahan aktual yang khususnya ditata baik untuk menyesuaikan cara hidup seperti itu.
Memilih pimpinan karismatis ataukah kepemimpinan rasional ?. Di dalam agama terdapat dua unsur kekuasaan dan kepemimpinan dalam tingkat universal dan tingkat sektoral kerohanian. Secara umum telah diketahui bahwa kehidupan bersama keagamaan akan mengalami kekacauan (anarki, anatomi, “chaos”) jika tidak diatur dikemudikan oleh unsur pimpinan yang berwenang. Namun, jika agama memandang pimpinan sebagai unsur yang perlu mutlak dan harus diwujudkan dalam kenyataan hidup sehari-hari, ia (agama) terbentur pada kesulitan tersebut di atas. Bila agama memilih untuk kepemimpinan karismatis, pilihan itu akan mendatangkan kesulitan yang tidak kecil. Jika agama memilih bentuk pimpinan yang rasional, ia tidak bebas pula dari kesulitan yang tidak kalah beratnya.
Memilih bentuk kepemimpinan karismatis memang dapat mendatangkan keuntungan tetapi juga kerugian. Keuntungannya antara lain : agama dapat dikembangkan dengan kepesatan yang luar biasa berkat karisma yang dimiliki seseorang pemimpin karismatis. Sebab seorang pemimpin karismatis mempunyai bakat-bakat luar biasa yang berasal langsung dari Tuhan, dan tidak dimiliki seorang pemimpin biasa. Para bawahannya secara emosional tertarik dan tunduk kepada pribadi pemimpin itu. Tetapi di balik sisi putih itu terdapat sisi lain yang hitam. Kekuasaan seorang pemimpin karismatis dapat berubah menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang, diktatorial dan mutlak. Ini berarti bahwa para penganut agama baik pada tingkat individual maupun kategorial tidak diberi hak untuk bersuara, ikut ambil bagian dalam membentuk garis-garis perencanaan, pengembangan dan penghayatan agama.
Kalau agama memilih alternatif yang kedua, yaitu bentuk kepemimpinan rasional, pilihan ini juga membawa keuntungan dan kerugian. Keuntungannya antara lain kemungkinan tidak sewenang-wenang dari pemimpin agama sudah ditutup dengan peraturan rasional yang dibuat oleh wakil-wakil golongan yang ada dalam agama itu. Sekurang-kurangnya kemungkinan untuk bertindak secara diktatorial sudah diperkecil. Namun kerugiannya adalah bahwa agama yang berbentuk yuridis formal akan menjurus (dan kenyataannya memang) kerutinisasi, birokrasi dan stagnasi.
Namun sulit dibayangkan bila penguasa larut dalam kegelisahan dan keresahan duniawi, penguasa politik tidak akan segan-segan melakukan intimidasi terhadap umat masyarakat demi mendapatkan sebuah pembenaran terhadap kebijakan kekuasannya itu. Agamapun akhirnya dipolitisir demi kepentingan sesaat atas nama kepentingan bersama dan stabilitas.
Pertautan antara agama dengan negara atau kekuasaan menjadi penting, masalah ini biasanya terkait erat dengan Enclave yang sebenarnya berbeda tapi disatukan, diakomodasikan secara simultan. Agama yang secara doktrinal-dogmatis memiliki otoritas pembenar akan ajaran agamanya karena bersumber dari otoritas wahyu sering kali terseret pada persoalan kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya.
Sementara negara yang secara doktrinal (dogmatis-politis) memiliki otoritas untuk melakukan pembenaran terhadap kebijakan yang diambilnya, berlaku tidak adil pada masyarakat. Hal tersebut terjadi karena negara menganggap bahwa kekuasaan atas kebijakan atau keputusannya perlu diakui dan dijalankan oleh rakyat. Secara politis atau kekuasaan, penguasa negara akan mendapat pengakuan secara wajar apabila penguasa memang memiliki moral yang dapat dipertanggungjawabkan, pantas dihormati dan ditaati.
Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa relasi kuasa antara negara dan agama memperlihatkan hubungan yang simbiotik dalam pemberian legitimasi.
Fenomena yang menggambarkan kecenderungan elit politik negeri ini dalam mengambil agama sebagai simbol-simbol kekuasaannya cukup banyak dijumpai. Peenguasa orde baru misalnya pada awalnya sangat represif terhadap islam politik, sehingga banyak pejabat pemerintah dan bahkan juga masyarakat yang menjauh dari kode ritual dan bahkan juga nilai tertentu yang bersumber dari agama terutama Islam.
Fenomena elit yang lebih adaptif terhadap Islam tersebut ditandai dengan banyaknya pejabat pemerintah yang dengan pasif mengenalkan “Assalamualaikum”, menghidupkan pengajian di instansi-instansi pemerintah, membuka mimbar Islam dan bahkan pelajaran Bahasa Arab di televisi, tidak mau ketinggalan menunaikan ibadah haji dan banyak lagi.
Berdirinya Negara Bangsa (Nation State) Indonesia, di mana konstitusi negara secara resmi tidak didasarkan pada agama, namun demikian negara tetap memberikan perhatian atau mengurusi persoalan agama. Negara membentuk departemen agama untuk mengelola bentuk relasi kuasa ini. Berbeda dengan Pakistan dan Iran di mana antara agama dan negara tidak harus dipisahkan karena konstitusi negara secara resmi didasarkan pada agama, ataupun di Turki di mana agama dan negara dipisahkan dan agama terbatas pada urusan-urusan pribadi, tidak ada campur tangan agama pada persoalan politik (negara).
Sejarah perkembangan agama, membuktikan bahwa agama-agama untuk menghindari dua ujung yang ekstrim itu harus mengambil jalan tengah. Itu berarti, agama mengadakan kompromi dalam memilih dan menentukan bentuk kepemimpinan dan kekuasaan, bentuk kepemimpinan itu berupa suatu gabungan dari kepemimpinan karismatis dan kepemimpinan rasional. Dalam perwujudan konkritnya (yang terjadi dari sejarah) pemimpin agama lantas merupakan kombinasi dari kekuasaan agama dan kekuasaan masyarakat. Dan bentuk kepemimpinan lebih jauh yang terjadi ialah bahwa kekuasaan agama jatuh sama dengan kekuasaan negara. Hidup keagamaan sama dengan hidup kenegaraan. Agama lalu menjadi tempat penyimpanan nilai-nilai sosial-budaya dari masyarakat. Akibatnya ialah bahwa nilai religius yang khas milik agama tertentu menjadi tercampur-baur dengan nilai kultural masyarakat setempat. Sehingga sukar dibedakan lagi dengan jelas kekhususan ajaran agama dari unsur-unsur budaya bagian setempat.
IV. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan makalah ini adalah :
1. Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta yang berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di ahirat.
2. Fungsi agama adalah menyediakan dua hal. Yang pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond) dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya.
3. Agama jika dihadapkan dengan masalah kekuasaan dan kepemimpinan yaitu dengan mengambil jalan tengah. Itu berarti, agama mengadakan kompromi dalam memilih dan menentukan bentuk kepemimpinan dan kekuasaan. Bentuk kepemimpinan itu berupa suatu gabungan dari kepemimpinan karismatis dan kepemimpinan rasionalis.
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosiologi lainnya. Sangat penting bukan saja yang dijumpai pada setiap masyarakat yang sudah diketahui, tetapi juga karena saling pengaruh-mempengaruhi antara budaya satu dengan yang lainnya. Di dalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral, dan etika.
Agama itu saling pengaruh-mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluargaan, perkawinan, ekonomi, hukum, dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains, dan teknologi. Agama itu telah memberikan inspirasi untuk memberontak dan melakukan peperangan dan terutama telah memperindah dan memperhalus karya seni. Tidak terdapat suatu institusi kebudayaan lain menyajikan suatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu halus seperti halnya agama.
Sekali agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi satu hal yang rutin, maka agama itu akan menghadapi kesulitan yang timbul dari rutinisasi itu. Bahkan bukan hanya sekedar kesulitan yang dihadapinya, lebih tepat lagi kalau disebut “dilema” karena kesulitan masih relatif mudah dicari jalan keluarnya, tetapi suatu dilema tidak demikian halnya. Dalam dilema orang dihadapkan dengan satu pilihan dari antara dua alternatif yang berlawanan.
Di bawah ini kita akan melihat dampak dilema yang dihadapi setiap agama yang telah menjelma dalam institusi antara lain agama dihadapkan dengan pilihan yang sulit berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kepemimpinan.
II. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian agama itu ?
2. Apa fungsi agama itu ?
3. Bagaimana agama jika dihadapkan pada masalah kekuasaan dan kepemimpinan ?
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Agama
Agama bagi Durkheim adalah produk khas dari akal kolektif. Sementara menurut James Martineau agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.
Seorang ahli sosiologi agama bernama Ellizabeth K. Notingham berpendapat bahwa agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi, melainkan melalui ekspresi atau penggambaran. Tidak ada satupun definisi yang memuaskan. Agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta.
Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu, orang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang dianutnya. Mukti Ali, mantan Menteri Agama Indonesia, menulis, “agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di ahirat”. Jelas sekali, Ali tidak sedang berbicara masalah agama dalam arti umum. Dia sedang mendefinisikan agama seperti yang dilihatnya dalam agama islam.
Walaupun definisi substansi kelihatan sederhana dan dapat dijadikan dasar untuk definisi operasional, cakupannya terlalu luas. Ahli-ahli membatasi substantif malah memperluas. Muller menulis pada tahun 1889 (sebagaimana dikutip Spilka, Hood, dan Gorsuch, 1985 : 30)
“Agama disebut sebagai pengetahuan dan agama disebut juga sebagai kebodohan. Agama disebut sebagai kebebasan dan ia disebut juga sebagai kebergantungan. Agama disebut sebagai keinginan, dan ia disebut juga sebagai kebebasan dari segala keinginan. Agama disebut sebagai renungan sunyi dan ia disebut juga sebagai pemujaan Tuhan yang indah dan meriah”
Jadi, agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta yang berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di ahirat.
Agama sebagai sumber ilmu pengetahuan karena semua ilmu bersumber dari Al-qur’an. Kebebasan dan agama bagaikan dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan, munculnya keadilan dalam agama karena di dasari oleh kebebasan, makanya tidak diherankan kalau agama islam menganut sistem kebebasan, dalam teks alqur’an tidak ada paksaan dalam beragama.
2. Fungsi Agama
a. Agama dalam Kehidupan Individu
Agama dalam individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang membuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianut. Sebagai sistem nilai, agama memiliki arti khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.
b. Agama dalam Kehidupan Masyarakat
Masalah agama tidak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain :
1. Berfungsi Edukatif
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Karena agama memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi kita semua di dunia. Seseorang yang tidak mematuhi ajaran agama tentunya akan menyesal di akhirat kelak. Karena baik buruknya perbuatan yang dilakukan di dunia akan mendapat balasan di akhirat.
2. Berfungsi Penyelamat
Keselamatan yang diberikan oleh agama pada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan ahirat. Alam dunia meliputi kedamaian karena agama kita adalah rahmatan lil’alamin. Sedangkan keselamatan di ahirat adalah jaminan bagi manusia yang beriman semasa hidupnya di dunia.
3. Berfungsi sebagai Perdamaian
Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. Agama mengajarkan perdamaian bagi semua manusia di dunia, sehingga antara agama satu dengan agama yang lain harus saling menghormati. Kalau semua umat beragama damai tentunya tidak ada kata permusuhan di dunia, tidak ada peperangan di mana-mana. Semua orang di dunia akan merasa tentram tanpa ada permusuhan atara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama yang lainnya.
4. Berfungsi sebagai Sosial Kontrol
Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut, baik secara pribadi maupun kelompok. Agama selalu mengontrol tingkah laku masyarakat sehingga masyarakat atau manusia dapat dinilai baik buruknya melalui agama. Orang yang menyimpang dari ajaran agama pasti akan menyesal di akhirat.
5. Berfungsi sebagai Rasa Solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan; iman dan kepercayaan. Agama tidak mengajarkan umatnya untuk berpecah-belah. Antar sesama umat beragama harus saling mempunyai rasa solidaritas sehingga tercapai persatuan dan kesatuan antara pemeluk agama satu dengan pemeluk agama yang lainnya.
6. Berfungsi Transformative
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Islam telah memberikan jawaban atas tantangan yang akan terjadi pada masa depan. Kita sebagai seorang muslim harus bersiap-siap mampu menjawab tantangan itu.
7. Berfungsi Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Dalam Islam sudah disebutkan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak merubah nasibnya sendiri. Itu jelas membuktikan kalau kita disuruh kreatif dan inovatif dalam berusaha di dunia sesuai ajaran agama sebagai bekal di akhirat.
8. Berfungsi Sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama uhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha yang dilakukan di dunia untuk kehidupan di akhirat tentu akan mendapat balasan di akhirat kelak selama usaha yang dilakukan di dunia itu sesuai dengan ajaran agama yang diridhoi Allah.
Dari sudut pandang teori fungsional, agama menjadi atau penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Yang pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond) dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya.
3. Agama jika Dihadapkan dengan Masalah Kekuasaan dan Kepemimpinan
Dalam kepercayaan dan praktik religius, etos suatu kelompok secara intelektual dan masuk akal dijelaskan dengan melukiskannya sebagai suatu cara hidup yang secara ideal disesuaikan dengan permasalahan aktual yang dipaparkan pandangan dunia itu. Sementara itu, pandangan dunia dijelaskan secara emosional dan meyakinkan dengan menjelaskannya sebagai sebuah gambaran tentang permasalahan aktual yang khususnya ditata baik untuk menyesuaikan cara hidup seperti itu.
Memilih pimpinan karismatis ataukah kepemimpinan rasional ?. Di dalam agama terdapat dua unsur kekuasaan dan kepemimpinan dalam tingkat universal dan tingkat sektoral kerohanian. Secara umum telah diketahui bahwa kehidupan bersama keagamaan akan mengalami kekacauan (anarki, anatomi, “chaos”) jika tidak diatur dikemudikan oleh unsur pimpinan yang berwenang. Namun, jika agama memandang pimpinan sebagai unsur yang perlu mutlak dan harus diwujudkan dalam kenyataan hidup sehari-hari, ia (agama) terbentur pada kesulitan tersebut di atas. Bila agama memilih untuk kepemimpinan karismatis, pilihan itu akan mendatangkan kesulitan yang tidak kecil. Jika agama memilih bentuk pimpinan yang rasional, ia tidak bebas pula dari kesulitan yang tidak kalah beratnya.
Memilih bentuk kepemimpinan karismatis memang dapat mendatangkan keuntungan tetapi juga kerugian. Keuntungannya antara lain : agama dapat dikembangkan dengan kepesatan yang luar biasa berkat karisma yang dimiliki seseorang pemimpin karismatis. Sebab seorang pemimpin karismatis mempunyai bakat-bakat luar biasa yang berasal langsung dari Tuhan, dan tidak dimiliki seorang pemimpin biasa. Para bawahannya secara emosional tertarik dan tunduk kepada pribadi pemimpin itu. Tetapi di balik sisi putih itu terdapat sisi lain yang hitam. Kekuasaan seorang pemimpin karismatis dapat berubah menjadi kekuasaan yang sewenang-wenang, diktatorial dan mutlak. Ini berarti bahwa para penganut agama baik pada tingkat individual maupun kategorial tidak diberi hak untuk bersuara, ikut ambil bagian dalam membentuk garis-garis perencanaan, pengembangan dan penghayatan agama.
Kalau agama memilih alternatif yang kedua, yaitu bentuk kepemimpinan rasional, pilihan ini juga membawa keuntungan dan kerugian. Keuntungannya antara lain kemungkinan tidak sewenang-wenang dari pemimpin agama sudah ditutup dengan peraturan rasional yang dibuat oleh wakil-wakil golongan yang ada dalam agama itu. Sekurang-kurangnya kemungkinan untuk bertindak secara diktatorial sudah diperkecil. Namun kerugiannya adalah bahwa agama yang berbentuk yuridis formal akan menjurus (dan kenyataannya memang) kerutinisasi, birokrasi dan stagnasi.
Namun sulit dibayangkan bila penguasa larut dalam kegelisahan dan keresahan duniawi, penguasa politik tidak akan segan-segan melakukan intimidasi terhadap umat masyarakat demi mendapatkan sebuah pembenaran terhadap kebijakan kekuasannya itu. Agamapun akhirnya dipolitisir demi kepentingan sesaat atas nama kepentingan bersama dan stabilitas.
Pertautan antara agama dengan negara atau kekuasaan menjadi penting, masalah ini biasanya terkait erat dengan Enclave yang sebenarnya berbeda tapi disatukan, diakomodasikan secara simultan. Agama yang secara doktrinal-dogmatis memiliki otoritas pembenar akan ajaran agamanya karena bersumber dari otoritas wahyu sering kali terseret pada persoalan kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya.
Sementara negara yang secara doktrinal (dogmatis-politis) memiliki otoritas untuk melakukan pembenaran terhadap kebijakan yang diambilnya, berlaku tidak adil pada masyarakat. Hal tersebut terjadi karena negara menganggap bahwa kekuasaan atas kebijakan atau keputusannya perlu diakui dan dijalankan oleh rakyat. Secara politis atau kekuasaan, penguasa negara akan mendapat pengakuan secara wajar apabila penguasa memang memiliki moral yang dapat dipertanggungjawabkan, pantas dihormati dan ditaati.
Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa relasi kuasa antara negara dan agama memperlihatkan hubungan yang simbiotik dalam pemberian legitimasi.
Fenomena yang menggambarkan kecenderungan elit politik negeri ini dalam mengambil agama sebagai simbol-simbol kekuasaannya cukup banyak dijumpai. Peenguasa orde baru misalnya pada awalnya sangat represif terhadap islam politik, sehingga banyak pejabat pemerintah dan bahkan juga masyarakat yang menjauh dari kode ritual dan bahkan juga nilai tertentu yang bersumber dari agama terutama Islam.
Fenomena elit yang lebih adaptif terhadap Islam tersebut ditandai dengan banyaknya pejabat pemerintah yang dengan pasif mengenalkan “Assalamualaikum”, menghidupkan pengajian di instansi-instansi pemerintah, membuka mimbar Islam dan bahkan pelajaran Bahasa Arab di televisi, tidak mau ketinggalan menunaikan ibadah haji dan banyak lagi.
Berdirinya Negara Bangsa (Nation State) Indonesia, di mana konstitusi negara secara resmi tidak didasarkan pada agama, namun demikian negara tetap memberikan perhatian atau mengurusi persoalan agama. Negara membentuk departemen agama untuk mengelola bentuk relasi kuasa ini. Berbeda dengan Pakistan dan Iran di mana antara agama dan negara tidak harus dipisahkan karena konstitusi negara secara resmi didasarkan pada agama, ataupun di Turki di mana agama dan negara dipisahkan dan agama terbatas pada urusan-urusan pribadi, tidak ada campur tangan agama pada persoalan politik (negara).
Sejarah perkembangan agama, membuktikan bahwa agama-agama untuk menghindari dua ujung yang ekstrim itu harus mengambil jalan tengah. Itu berarti, agama mengadakan kompromi dalam memilih dan menentukan bentuk kepemimpinan dan kekuasaan, bentuk kepemimpinan itu berupa suatu gabungan dari kepemimpinan karismatis dan kepemimpinan rasional. Dalam perwujudan konkritnya (yang terjadi dari sejarah) pemimpin agama lantas merupakan kombinasi dari kekuasaan agama dan kekuasaan masyarakat. Dan bentuk kepemimpinan lebih jauh yang terjadi ialah bahwa kekuasaan agama jatuh sama dengan kekuasaan negara. Hidup keagamaan sama dengan hidup kenegaraan. Agama lalu menjadi tempat penyimpanan nilai-nilai sosial-budaya dari masyarakat. Akibatnya ialah bahwa nilai religius yang khas milik agama tertentu menjadi tercampur-baur dengan nilai kultural masyarakat setempat. Sehingga sukar dibedakan lagi dengan jelas kekhususan ajaran agama dari unsur-unsur budaya bagian setempat.
IV. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan makalah ini adalah :
1. Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta yang berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di ahirat.
2. Fungsi agama adalah menyediakan dua hal. Yang pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond) dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya.
3. Agama jika dihadapkan dengan masalah kekuasaan dan kepemimpinan yaitu dengan mengambil jalan tengah. Itu berarti, agama mengadakan kompromi dalam memilih dan menentukan bentuk kepemimpinan dan kekuasaan. Bentuk kepemimpinan itu berupa suatu gabungan dari kepemimpinan karismatis dan kepemimpinan rasionalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar